PENGANTAR
AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH
A.
PENGERTIAN ASWAJA
Istilah “Ahlusunnah
Waljamaah”adalah sebuah istilah yang dieja-Indonesiakan dan kata Ahlusunnah
Waljamaah” اهل السنه والجماعه.Ia merupakan rangkaian
dari kata-kata:
a.
Ahl (Ahlun), berarti “galongan”atau
“pengikut’
b.
Al-Sunnah (al-Sunnatu), berarti
“tabiat/perilaku jalan hidup/perbuatan yang mencakup ucapan dan tindakan Rasulullah SAW.
c.
Wa, yang berarti “dan atau
“serta”’
d.
Al-Jamaa’ah (al-jamaah),
berarti ‘Jamaah” yakni jamaah para sahabat Rasul SAW. Maksudnya ialah perilaku
atau jalan hidup para sahabat.
Dengan demikian, maka
secara etimologis, istilah “Ahlusunnah Waljamaah / golongan yang
senantiasa mengikuti jalan hidup Rasul SAW. dan jalan hidup para sahabatnya.
Atau, golongan yang berpegang teguh pada Sunnah Rasul dan Sunnah (Tariqah) para
sahabat, lebih khusus lagi, sahabat empat (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman
bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Talib).
Selanjutnya, jalan hidup
Rasul SAW. tidak lain ialah ekspresi nyata dari isi kandungan al-Quran.
Ekspresi nyata tersebut kemudian biasa diistilahkan dengan “al- Sunnah” atau “al-Hadits’ Kemudian, al-Quran sebagai Wahyu
Ilahi, terkemas sendiri dalam mushaf al-Quran al Karim”; sedangkan ekspresi
nyatanya pada diri Rasul SAW. pun terkemas secara terpisah dalam “mushaf al-sunnah.
al-hadits’ seperti dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, sunan
Al Tirmizi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah, serta Kitab-kitab al Hadits
yang disusun oleh para ulama lainnya.
Sementara itu, para
sahabat, khususnya sahabat empat; adalah generasi pertama dan utama dalam
melazimi “Perilaku Rasulullah SAW., sehingga jalan hidup mereka praktis
merupakan penjabaran nyata dan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. Setiap langkah
hidupnya, praktis merupakan aplikasi dari norma-norma yang terkandung dan
dikehendaki oleh ajaran Islam, serta mendapat petunjuk dan kontrol langsung
dari baginda Rasul SAW. Oleh karena itu, jalan hidup mereka relatif terjamin
kelurusannya dalam mempedomani ajaran Islam, sehingga jalan hidup mereka
pulalah yang paling tepat menjadi rujukan utama setelah jalan hidup Rasul SAW.
Adapun wujud kongkritnya,
Ahlussunnah Waljamaah tidak lain ialah golongan yang senantiasa berpegang teguh
terhadap petunjuk al-Quran dan al Sunnah al Sahihah. Artinya dalam segala hal
selalu merujuk kepada petunjuk al-Quran dan al-Sunnah.
Dengan kata lain,
Ahlussunnah Waljamaah ialah golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup
Rasul SAW. dan jejak hidup para sahabatnya, dengan
senantiasa berpegang teguh kepada al-Qunan dan A-Sunnah.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِفْتَرَ
قَتْ الْيَهُوْدُ عَلَىءِاحْدَىوَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, وَاَفْتَرَقَتْ النَّصَارَى
عَلَى ائْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. وَتَفَرَّقَ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ
وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً (رواه الاربعه)
“Dari sahabat Abu Hurairah ra. dia berkata,
bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda : Umat Yahudi telah pecah menjadi 71
golongan dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Sementara umatku bakal
pecah menjadi 73 golongan” (Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasa’i, Ibnu Majah).
Hadits ini, tidak secara
tegas menyatakan adanya golongan yang disebut “Ahlussunnah Waljamaah”. Tetapi
baru diisyaratkan bakal terpecahnya umat Rasulullah SAW menjadi 73 golongan
(firqah). Maka golongan ahlussunnah Waljamaah berarti salah satu dari ke-73
golongan tersebut.
Hadits lain, yakni yang diriwayatkan
dari sahabat Abdullah Ibnu Umar ra., bahwasanya Nabi SAW. beriabda:
...وَاِنَّ
بَنِى اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً
وَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً. كُلُّهُمُ فِى
النَّارِ اِلاَمِلَّةً وَاحِدَةً. قَالُوْا: وَمَنْ هِيَ يَارَسُوْل اللهِ؟ قَالَ:
مَا اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِي (رواه الترمذى)
“... Dan sesungguhnya kaum Bani Israil telah
terpecah menjadi 72 golongan. Sementara umatku bakal terpecah menjadi 73
golongan dan semuanya masuk neraka kecuali hanya satu golongan saja. Para sahabat bertanya: Siapakah yang satu golongan itu ya
Rasulullah? jawabnya: Itulah golongan yang senantiasa mengikuti jejakku dan
jejak para sahabatku”. (HR. Al Tirmizi).
Dalam teks hadits ini,
meskipun belum secara tegas terungkap istilah “Ahlussunnah Waljamaah”; namun
maknanya sudah tersirat di dalamnya, yakni bahwa golongan yang selamat dari
ancaman neraka itu adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak (Jalan
hidup) Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Padahal, makna yang demikian inilah
yang kita maksudkan sebagai batasan (pengertian) Ahlussunnah Waljamaah.
Dengan demikian, maka
golongan Ahlussunnah Waljamaah ialah satu-satunya golongan umat Rasul yang
selamat dari ancaman neraka. Hal ini lebih tegas lagi diungkapkan dalam hadits
lain yang berbunyi:
وَالَّذِىْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ,
لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. فَوَاحِدَةً فَى
الْجَنَّةُ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ. قِيْلَ: مَنْ هُمْ يَارَسُوْلُ
اللهِ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ (رواه الطبرانى)
(Rasulullah SAW) bersumpah: Demi zat yang
menguasai jiwa Muhammad, sungguh umatku bakal terpecah, menjadi 73 golongan.
Maka yang satu golongan masuk syurga, sedangkan yang 72 golongan masuk neraka.
Sedang sahabat bertanya : Siapakah golongan yang masuk itu ya Rasulullah?
Jawabnya Yaitu golongan Ahlussunnah Waljamaah” (HR. al-Tabrani)
Teks Hadits secara
langsung menyebutkan kata “Ahlussunnah Waljamaah” sebagai satu-satunya golongan
yang dinyatakan bakal masuk surga. Berdasarkan ketiga hadits tersebut,jelaslah
bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam banyak golongan, Sebagaimana umat
Yahudi dan Nasrani. Di antara sekian banyak (73) golongan itu, terdapat satu
golongan yang selamat dari ancaman neraka, yakni golongan yang senantiasa
mengikuti jejak hidup Rasulullah SAW. dan jejak hidup para sahabatnya. Dan
golongan yang selamat (masuk surga) itu tidak lain ialah golongan Ahlussunnah
Waljamaah.
...فَعَلَيْكُمُ
بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيينَ,
تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُوْا عَلَيْهَا بِاالنَّوَاحِذِ (ابو داوود)
“....Maka berpegang teguhlah kalian terhadap
Sunnah-ku serta sunnah Khulafa’ al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk’
Pedomanilah sunnah (jalan hidup) mereka dan pegangilah erat-erat !“ (HR. Abu
Dawud).
B.
SEJARAH PERKEMBANGAN PAHAM ASWAJA
- Periode
Nabi
Periode Rasulullah SAW,
yakni suatu masa ketika Rasul SAW masih hidup, pastilah ajaran Islam
dilaksanakan secara baik dan benar, tepat benar dengan petunjuk al-Quran dan
al-Sunnah dan tidak menyimpang sedikitpun. Khususnya oleh pribadi Rasul SAW sebagai
suri-teladan yang terbimbing langsung melalui bimbingan Ilahiah. juga oleh para
sahabat yang terbimbing dan terkontrol langsung oleh Rasulullah SAW.
Amaliah Rasul, mustahil
jika sampai menyimpang dari petunjuk al-Quran. Karena amaliahnya inilah yang
bakal diteladani oleh para sahabat dan umat berikutnya. Maka mustahil pula jika
dia teledor dalam membimbing dan mengontrol amaliah para sahabatnya.
Selanjutnya, amaliah
(fisik dan batin) Rasulullah SAW yang mempribadi dan diteladankan kepada para
sahabat secara langsung serta kepada para pengikutnya sepanjang zaman secara
tidak langsung, inilah yang disebut-sebut sebagai “al-Sunnah’ Dan amaliahnya
yang diteladani secara langsung oleh para sahabat, yang kemudian melekat
menjadi jalan hidup mereka itulah yang kemudian di sebut-sebut sebagai tariqah
sababat.
Al-Sunnah yang
diteladankan Rasul SAW itu pastilah benar dan tepat sesuai petunjuk al-Quran.
Sedangkan tariqah para sahabat, khususnya yang secara langsung melazimi Sunnah
Rasul SAW sehari-harinya, terlebih lagi sahabat empat yang pada gilirannya
disebut “Khulafa’ al Rasyidin’ praktis sesuai benar dengan petunjuk al-Quran dan
al-Sunnah. Inilah substansi makna Ahlussunnah Waljamaah.
- Periode
Sahabat.
Kehidupan umat Islam pasca
Rasul SAW, khususnya dibaiatnya sahabat Abu Bakar al-Siddiq ra. menjadi
khalifah sampai berakhirnya masa kekhatifahan sahabat Ali bin Abi Talib kw.
(karamAliahu wajhah),nyaris bernuansa lain dan mulai muncul perpecahan
sebagaimana yang pernah disinyalir oleh Rasul SAW sendiri dalam beberapa
haditsnya.
Sampai dengan masa
kekhalifahan sahabat Umar bin Al-Khattab ra., perpecahan memang belum begitu
kentara. Tetapi mulai kekhalifahan sahabat Usman bin Affan ra., fenomenanya
mulai nampak jelas. Dan pada masa kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Talib kw.
Perpecahan mulai menjadi sebuah kenyataan. Dampak dan perpecahan ini, pada
gilirannya menjadi sumber perbedaan paham di tengah umat Islam dalam
mempedomani ajaran Islam.
Sejarah mencatat,
bahwasanya sejak sahabat Abu Bakar ra. dibaiat menjadi khalifah, muncul gerakan
pembangkang zakat yang menjadi sendi (rukun) Islam. Di pihak lain, muncul pula
gerakan anti-Islam di bawah komando nabi-nabi palsu seperti : Musailamah
al-Kazzab, Aswad al-Ansi, danTuhailah bin Khuwailid.
Meluasnya wilayah pemerintahan
Islam di bawah pimpinan sahabat Umar ra., pun tak urung menimbulkan dendam
terpendam dan para penguasa yang ditaklukkannya. Timbullah gerakan di bawah
tanah untuk menyusupkan ajaran agama mereka ke dalam ajaran Islam dengan target
untuk menghancurkan Islam dari dalam. Indikasinya sangat jelas, yakni
terungkapnya kisah-kisah israiliyat di dalam beberapa disiplin keilmuan, bahkan
lebih nyata lagi pada kasus pembunuhan terhadap khalifah Umar ra. sendiri.
Dalam sejarah dibuktikan
bahwa pembunuh Umar ra. adalah Abu Lu’luah, Hurmuzan (keduanya asal Persia/Yahudi)
dan jufainah (Nasrani). Inilah indikasi nyata adanya dendam kesumat dari pihak
negara-negara yang ditaklukkan sahabat Umar ra. Dan mereka ini pastilah orang-orang
non-Ahlussunnah Waljamaah!
Pada masa pemerintahan
Usman ra. (23-35H), nuansa perpecahan kian meningkat dan issu nepotisme pun
mulai merebak. Lidah Provokator ulung Abdullah bin Saba ’
(si Yahudi yang pura-pura Islam), mulai berhasil mempengaruhi dan meracuni para
elit politik. Perasaan tidak puas terhadap kepemimpinan Usman semakin
menjadi-jadi, kontra politik sengaja dibesar-besarkan, dan pemberontakan demi
pemberontakan terjadi di Kufah, Basrah, Mesir, dan tempat-tempat lain dengan
tujuan untuk menjatuhkan kepemimpinan sahabat Usman ra.
Di sisi lain, muncul pula
sebuah mazhab yang di kenal dengan “wisayah” yang tidak lain didirikan oleh
provokator cerdik Abdullah bin Saba Isi mazhab itu berupa doktrin bahwa Rasul
SAW ditegaskan telah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib ra. sebagai pengganti
dalam kedudukan khalifah. Maka diserukan kepada khalayak bahwa Ali-lah yang
berhak menduduki jabatan khalifah, Usman dan dua pendahulunya tidak sah, bahwa
perampas hak Ali.
Mazhab Wisayah itu
diperkuat lagi dengan adanya paham yang disebut “Haq Ilahi” yang sama-sama
dicetuskan oleh provokator licin Abdullah bin Saba Isinya ialah menyatakan
bahwa kedudukan khalifah adalah hak Tuhan, dan hak Tuhan itu jatuh kepada sahabat
melalui wasiat Rasul.
Dengan demikian, praktis
pada masa kepemimpmnan sahabat Usman ra. ini, golongan non Ahlussunnah
Waljamaah sudah mulai berani menampakkan diri.
Apalagi pada masa
kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Talib kw. Partai-partai politik mulai
bermunculan dengan latar belakang perbedaan golongan (paham) yang berbeda-beda.
Partai Syi’ah yang mengklaim berada di belakang Ali ra, jelas sudah menyimpang
dan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. Mereka pun akhirnya terpecah menjadi
banyak golongan yang bertumpu pada tiga golongan besar, yakni Syi’ah
aI-Ghulah, Rafidah, dan Syi’ah Zaidiyyah.
Penyimpangan yang
dilakukan kaum Syi’ah dengan berbagai golongan itu, antara lain:
a.
Berani memasukkan kepercayaan
Yahudi dan Nasrani serta Hindu Samani dan Majusi Mani tentang paham inkarnasi (al-khulul)
dan paham reinkarnasi (al tanashukh).
b.
Mengkultuskan sahabat Ali kw,
seraya mengkafirkan tiga sahabat (khalifah.) sebelumnya.
c.
Menolak pendapat ljma’ dan
Qiyas, serta membolehkan kawin kontrak (mut’ah).
Selain Syi’ah. partai yang
cukup besar ialah partai Khawarij. Mereka adalah orang-orang yang keluar dari
golongan Ali dan menyatakan sebagai pembela Usman yang pada gilirannya
berhadapan dengan Syi’ah.
Jika dirunut dari masa kepemimpinan
Abu Bakar ra. sampai masa kepemimpinan Ali bin Abi Talib kw. (1140 H/632-661
M), umat Islam tidak luput dari nuansa perpecahan yang berakibat pada nuansa
perbedaan paham. Namun paham-paham yang muncul dan sampai keluar dari rel
Ahlussunnah Waljamaah (al-Quran dan al Hadits) pada dasarnya tidak sebanding
dengan jumlah mereka yang masih berada di relnya.
- Periode Tabi’in.
Maksud periode tabi’in
dalam hal ini ialah periode pasca kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Talib kw.
yang ditengarai oleh munculnya sekte-sekte Islam yang banyak mendapat sorotan
para ulama dan ahli sejarah, seperti:
a.
Qadariyah
b.
Murji’ah; dan
c.
Jabbariyah.
Qadariyah dengan pendirinya
Ma’bad aljuhani dan al-Dimasyqi, antara lain berpendapat bahwa manusia memiliki
qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan perbuatannya tanpa campur tangan
sama sekali Tuhan.
Sedangkan pendapat yang
paling menonjol dari sekte Murji’ah yang dipelopori oleh Hasan bin Bilal al
Muzni, Abu Salah al-Saman, Sauban dan Dirar bin Umar, ialah menangguhkan hukuman
duniawi hingga hari kiamat. Hal ini lebih dilatarbelakangi oleh sikap apatis
mereka terhadap pertikaian politik semenjak masa kekhalifahan Usman bin Affan
ra. Mereka enggan menyatakan bagaimana hukumnya kelompok Syi’ah, Khawarij,
Mu’awiyah, ataupun kelompok Ali sendiri yang non-Syi’ah. Bagaimana hukum masing-masing
semua diserahkan kepada Tuhan kelak pada hari kiamat. Tetapi kemudian pendapatnya
meluas termasuk meniadakan hukum qisas, diyat atau hukuman bagi pezina, semua
hukuman ditunda sampai hari kiamat dihadapan Tuhan.
Sementara itu sekte jabariyah
dengan pendirinya Jaham bin Safwan, atau sering pula disebut sekte Jahamiyah,
menyatakan bahwa manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan
manusia diciptakan secara mutlak oleh Qadar Tuhan. Baik-buruknya perbuatan
manusia, semata-mata merupakan perwujudan dari baik buruknya Qadar Tuhan.
Pendapat ini bertolak belakang 180 derajat dengan pendapat sekte Qadariyah.
Tentang keempat sekte ini,
sebagian ulama berpendapat hanya ada dua sekte. Yakni, sekte Qadariyah adalah
nama lain dari Mu’tazilah, dan sekte Murji’ah adalah nama lain dari jabariyah
atau jahamiyah. Dan pengaruhnya sangat kuat, hingga kini terus mewarnai percaturan
kalam (teologis) umat Islam ialah sekte Mu’tazilah.
Nama “Mu’tazilah” hanyalah
nisbat terhadap ucapan Syekh Hasan Basri tatkala mengeluarkan muridnya yang
amat radikal, yakni Wasil bin Ata al-Ghazal (80-131 H). I’tazil Anna! (keluarlah
dari perguruanku!). Maka Wasil ini pula yang dikenal sebagai pendiri sekte
Mu’tazilah
Wasil sendiri menamakan
sektenya Ahl al-Adl wa al Tauhid (golongan yang berpaham adil dan mengEsakan Tuhan),
sekaligus mengindikasikan pendapat utamanya. Adil menurutnya ialah bahwa Tuhan
membalas amal perbuatan manusia yang diciptakan sendiri tanpa campur tangan
Qadar-Nya. Sedangkan tauhid menunutnya ialah
bahwa Tuhan Esa tanpa diembel-embeli berbagai sifat, Dia tidak memiliki
sifat-sifat.
Keradikalan Mu’tazilah,
meskipun kemudian sekte ini terpecah sampai 22 sekte yang berbeda; semuanya terlalu
berlebihan dalam memuja kemampuan akal, nyaris mengabaikan petunjuk naqli (al-Quran
dan al-Sunnah). Bahkan menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk (ciptaan Tuhan)
dan bersifat hadits (baru). Pernyataan terakhir iniIah yang kemudian disebut
oleh banyak kalangan sebagai al-Mihnah (batu ujian bagi para ulama mayoritas
yang tetap berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan, bukan makhluk-Nya
dan atau Qadim.
Sampai dengan periode
tabi’in ini, istilah Ahlussunnah Waljamaah tetap belum muncul secara
institusional (lembaga). Namun golongan yang secara substansial berada di
dalamnya, yakni tetap berpegang teguh kepada petunjuk al-Quran dan al-Sunnah;
tetap saja berjumlah mayoritas. Dari golongan mayoritas ini lebih sering
disebut-sebut sebagai golongan Al-Salaf al-Salih.
- Perlode Imam
Mazhab Empat
Periode Imam Mazhab Empat
pada dasarnya merupakan periode kemunculan aliran (mazhab) di bidang fiqh yang
jumlahnya semua sangat banyak. Namun kemudian tinggal empat mazhab saja yang
hingga kini diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam. Keempat mazhab itu
ialah:
a.
Hanafi, dengan
pendirinya/imamnya Abu Hanifah (80- 150H)
b.
Maliki, dengan imamnya Malik
bin Anas (93-170 H),
c.
Syafi dengan imamnya Muhammad
bin Idris al Syafi (150-204 H).
d.
Hanbali, dengan imamnya Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal (164-241 H).
Keempat Imam Mazhab
tersebut adalah para penegak substansi paham Ahlussunnah Waljamaah yang sangat
andal. Selain di bidang fiqh, mereka pun banyak menyinggung lingkup kalam
(akidah) dan akhlak yang semuanya tetap merujuk pada Sunnah Rasul dan tariqoh para
sahabat (khususnya sahabat empat), dengan senantiasa berpegang teguh kepada
petunjuk al-Quran dan al-Sunnah.
- Periode
Imam Al-Asyari-Al Maturidi
Periode ini pada dasarnya
merupakan periode institusi Ahlussunnah Waljamaah, khususnya dalam lingkup
kalam (teologi). Karena semenjak kemunculan dua tokoh besar al-Asy’ari dan
al-Maturidi, terasa sedemikian melembaganya nama Ahlussunnah Waljamaah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari
(260-324 H) berada di Basrah dan Abu Mansur al-Maturidi (248-333 H) berada di
Khurasan yang saling berjauhan dan praktis tidak pernah berkomunikasi itu,
secara kebetulan sama-sama berjuang keras menegakkan Akidah (kalam) Ahlussunnah
Waljamaah dengan menolak paham Mu’tazilah yang hingga itu terus berkembang dan
mendapat dukungan politis dan pihak khalifah dan daulah Abasiyah terutama
khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Wasiq.
Meski kemasan institusi
al-Asy’ari dan al-Maturidi hanya sebatas dalam lingkup kalam, namun mengingat
secara substansial paham Ahlussunnah Waljamaah sudah melekat kuat di dada mayoritas
umat semenjak zaman Rasul SAW.; maka selain pemikiran kalam mereka berdua segera
mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak dan berbagai penjuru juga
memperkuat institusi Ahlussunnah Waljamaah sebagai sebuah paham mazhab) mayoritas
muslimin.
- Periode Imam
Al-Ghazali-Al-Junaid
Al-Ghazali, yang bernama
lengkap “Zain al-Din abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al Ghazali’
dan bergelar “Hujjah al-Islam” (pembela umat Islam), lahir di Tus (450-505 H)
adalah seorang besar yang sangat populer di kalangan umat.
Popularitas al-Ghazali,
memang tidak hanya di satu keilmuan belaka, melainkan di berbagai bidang
dikenal sebagai tokoh penerus kalam al-asy’ariyah, fiqh Syafiiyah, filosof
muslim, dan bidang-bidang lainnya, terutama di bidang Tasawuf dengan
monumentalnya berjudul Ihya ‘Ulum al-Din.
Ketokohan al-Ghazali di
bidang Tasawuf (akhlak) sebenarnya didahuiui oleh kemunculan seorang tokoh di
bidang yang sama Imam al-junaidi al-Baghdadi (w. 910 M) yang lebih dikenal
dengan “aljunaid’
Kedua tokoh ini kemudian
mempermantap institusi Ahlussunnah Waljamaah, khususnya dalam lingkup tasawuf (akhlak)
: setelah periode sebelumnya dalam lingkup fiqh dipelopori oleh imam Mazhab
Empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al Syafi’i, Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal); dan dalam lingkup kalam, (akidah) dipelopori oleh
al-Asy’ari dan al Maturidi.
C.
RUANG LINGKUP
Paham Ahlussunah Waljama’ah
meliputi tiga ruang lingkup yaitu : Lingkup akidah, lbadah, dan akhlak.
selanjutnya, untuk membedakan lingkup-lingkup Ahlussunnah Waljamaah tersebut dengan
lingkup-lingkup lain, perlu ditegaskan dengan menyebut masing masingnya menjadi
Akidah Ahlussunnah waljamaah, Ibadah (fiqh) Ahlussunnah Waljamaah, dan Akhlak
Ahlussunnah Waljamaah.
- Akidah Ahlussunnah
Waljamaah
Adapun institusi akidah
(kalam) yang sejalan dengan paham Ahlussunnah Waljamaah ialah institusi akidah
yang dicetuskan oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi. Meski sama persis pemikiran
kalam mereka berdua, tetapi pemikirannya tetap commited terhadap
petunjuk naql. Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami
naql, tidak sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara
terang-terangan melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan
menentang logika Mu’tazilah yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabaikan
petunjuk naql.
Dengan demikian, maka
dalam konteks historis, paham Ahlussunnah Waljamaah adalah sebuah paham yang
dalam lingkup akidah mengikuti pemikiran
kalam al Asy’ari atau al-Maturidi. Yang institusinya kemudian disebut
al-Asy’ariyah atau al-Maturidiyah. Dan sebagai institusi besar, keduanya tidak
luput dari tokoh-tokoh pengikut yang selain menyebarkan, juga mengembangkan
pemikiran kalam yang dicetuskan oleh pendirinya.
Beberapa nama tokoh yang
menyebar-kembang kan
pemikiran kalam al-Asy’ari dan al-Maturidi itu, tercatat nama-nama besar
seperti: Al-Baqilani, al-Juwaini (imam al-Haramain), al-Isfirayini, Abu Bakar al-Qaffal,
al-Qusyairi, Fahr al-Din al-Razi, Izz al-Din’Abd al Salam, termasuk al Ghazali
dan al-Bazdawi. Dan pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam
di Indonesia ialah pemikiran kalam al-Asy’ari yang telah dikembangkan oleh al-Ghazali
yang lebih dikenal sebagai tokoh sufistik.
Jauh (berabad-abad) pasca
tokoh-tokoh tersebut, di Indonesia dikenal pula tokoh-tokoh al-Asy’ariyah
(Asya’irah) seperti: Syekh al-Sanusi, Syekh al-Syarqawi, Syekh al-Bajuri, Syekh
Nawawi Banten, Syekh al-Tarabilisi, Syekh al-Fatani, dan lain-lain. Yang tidak
mustahil. pemikiran kalam mereka sudah berbeda dengan pemikiran kalam
al-Asy’ari sendiri atau setidak-tidaknya ada nuansa lain.
- Fiqh
Ahlussunnah Waljamaah
Dalam konteks historis,
institusi fiqh yang sejalan dengan konteks substansial paham Ahlussunnah
Waljamaah ialah empat mazhab besar dalam fiqh Islam, mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali. Bahwa mazhab Hanafi dianut pula oleh mu’asis
(pendiri) kalam at Maturidiyah, yakni Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan mazhab
Syafi’i dianut pula oleh muassis kalam at Asy’ariyah, yakni Abu al-Hasan
al-Asyari.
Tak bisa dipungkiri,
bahwasanya di antara keempat fiqh tersebut satu sama lain banyak ditemui
perbedaan di sana
sini. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan itu masih berada dalam koridor ikhtilaf-rahmat
(perbedaan yang membawa rahmat). Abu Hanifah yang dikenal sebagai ahl
al-ra’yi (banyak menggunakan akal/logika), tidak mengklaim pendapatnya
sebagai terbenar. Dan ketiga Imam yang lain pun tidak pernah menyalahkan
pendapat mazhab yang lain.
Keempat Imam Mazhab
tersebut sama-sama commited terhadap petunjuk al-Quran dan al-Sunnah.
sama-sama berpola-pikir Taqdim al-Nas ‘ala al-’aql (mendahulukan
petunjuk nas daripada logika). Dalam berijtihad, mereka tidak mengedepankan
akal kecuali sebatas untuk beristimbat (menggali hukum dan al Quran dan
al-Hadits), tidak sampai mensejajarkan apa lagi mengabaikan nas. Dan inilah
substansi paham Ahlussunnah Waljamaah.
- Akhlak
Ahlussunnah Waljamaah
Adapun lingkup yang ketiga
ini, paham Ahlussunnah Waljamaah mengikuti wacana akhlak (tasawuf) yang dikembangkan
oleh tokoh-tokoh seperti al Ghozali, al junaid, dan tokoh-tokoh lain yang
sepaham termasuk Abu Yazid al-Bustami. Pemikiran akhlak mereka ini memang tidak
melembaga menjadi sebuah mazhab tersendiri sebagaimana dalam lingkup akidah
(kalam) dan fiqh. Namun wacana mereka itu sejalan dengan substansi paham
Ahlussunnah Waljamaah serta banyak diterima dan diakui oleh mayoritas umat
Islam.
Diskursus Islam kedalam
lingkup akidah, ibadah, dan akhlak ini bukan berarti pemisahan yang benar-benar
terpisah. Ketiga-tiganya tetap Integral dan harus diamalkan secara bersamaan
oleh setiap muslim, termasuk kaum Sunni” (kaum yang berpaham Ahlussunnah
Waljamaah). Maka seorang muslim dan seorang sunni yang baik, dalam berakidah,
dalam beribadah sekaligus dalam berakhlaq. Seseorang baru baik akidah dan
ibadahnya saja Ia belum bisa dikatakan baik, jika akhlaknya belum baik.
Oleh karena itu, maka
lingkup akhlak tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia justru teramat penting dan
menjadi cerminan Ihsan dalam diri seorang muslim. Jika Iman menggambarkan
akidah, dan Islam menggambarkan ibadah; maka akhlak akan menggambarkan ihsan
yang sekaligus mencerminkan kesempurnaan iman dan Islam pada diri
seseorang. Iman ibarat akar, dan “Islam” ibarat pohonnya; maka “Ihsan” ibarat
buahnya.
Mustahil sebatang pohon
akan tumbuh subur tanpa akar dan pohon yang tumbuh subur serta berakar kuatpun
akan menjadi tak bermakna tanpa memberikan buah secara sempurna. Mustahil
seorang muslim beribadah dengan baik tanpa didasari akidah kuat, dan akidah
yang kuat serta ibadah yang baik akan menjadi tak bermakna tanpa terhiasi oleh
akhlak mulia.
Idealnya, ialah berakidah
kuat, beribadah dengan baik dan benar, serta berakhlak mulia. Beriman kuat,
berislam dengan baik dan benar, serta berihsan sejati. Maka yang demikian
inilah wujud insan kamil/(the perfect man) yang dikehendaki oleh paham
Ahlussunnah waljamaah.
D.
POLA PIKIR ASWAJA
Nampaklah bahwa pola pikir
yang diisyaratkan oleh paham Ahlussunnah Waljamaah adalah taqdim al nas dan
rasional. Atau mengutamakan nas tetapi dalam memahami nas itu digunakanlah
logika filsafat yang rasional.
1.
Taqdim al-Nas
Pola pikir taqdim al-Nas
(mendahulukan petunjuk nas) ini terindikasikan oleh komitmen tegas Ahlussunnah
Waljamaah dalam rangka purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dari aneka upaya
liberalisasi serta pemikiran bid’ah yang kian menggejala dan kompleks.
Purifikasi dimaksud tidak
lain ialah menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber rujukan vital dalam
setiap aspek kehidupan. Yang dalam hal, ini mencakup aspek akidah, ibadah, dan
aspek akhlak. Sebagaimana yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW. dan para
sahabatnya pada periode awal kelahiran Islam.
Dengan pola pikir taqdim
al-Nas ini, ajaran Islam akan terhindar dari berbagai nuansa yang bersifat ekstrim.
Dalam lingkup akidah, terhindar dari, pemikiran kalam liberal yang terlalu
mendewa-dewakan kemampuan akal. Dalam lingkup ibadah, terlepas dari egoisme
pembenaran pendapat pribadi ataupun mazhab. Dan dalam lingkup akhlak akan
terhindar dari pemikiran-pemikiran mistis non Islam.
Semua aspek kehidupan,
praktis akan terpayungi oleh kebenaran “mutlak”al-Quran dan al-Sunnah. Peran
logika-filsafat yang menjelma dalam pemikiran kalam, tetap ternaungi oleh kebenaran
“mutlak” al-Quran dan al-Sunnah. Perbedaan pendapat fiqhiyah yang memang
interpretable, tetap menjadi ikhtilaf-rahmat, Pemikiran-Pemikiran tasawuf pun
tetap sejalan dengan Nas. Pemikiran-pemikiran bid’ah seperti paham al ahlul dan
wihdah al-wujud (inkarnasi, reinkarnasi) jelas-jelas bukan ajaran Islam;
praktis akan tercounter dengan sendirinya.
2.
Rasional
Taqdim al-Nas memang
menjadi komitmen pola pikir paham Ahlussunnah Waljamaah, namun secara filosofis
tidak berarti menganulir atau menafikan kebenaran rasio (akal). Bahkan akal
mendapat tempat yang sangat terhormat dalam paham Ahlussunnah Waljamaah, sejalan
dengan penghormatan yang diberikan oleh semangat Nas itu sendiri.
Kata aqal (akal) itu
sendiri dengan berbagai bentuk, banyak didengung-dengungkan dalam al-Quran,
termasuk juga di dalam al-Sunnah.
Itu berarti, paham taqdim al-Nas
otomatis menempatkan rasio dalam tempat yang amat terhormat. Keterhormatannya
itu berarti pula memberi semangat kepada umat agar berpola pikir rasional.
Hanya saja, mengingat
kemampuan akal sangat terbatas dan variatif, mustahil dapat menembus kebenaran mutlak
dan hasilnya bervariasi antara akal yang satu dengan yang lain. maka secara
logis pula; akal bukanlah bandingan naql (Nas). Menjadi hal yang irrasional
jika sampai mensejajarkan atau membandingkan kebenaran akal dengan kebenaran
naql. Sama halnya dengan membandingkan antara kemampuan manusia dengan kemampuan
Tuhan.
Oleh karena itu, pola
pikir yang dikembangkan dalam paham Ahlussunnah Waljamaah tidak lain ia,
menempatkan rasio/akal pada tempatnya. Akal di tempatkan sebagai alat bantu
untuk memahami kandungan naql. Itupun terbatas pada apa yang bisa dijangkau
oleh kemampuan akal. Sehingga penggunaan ta’wil (penafsiran ayat secara
metafores/majazi), dalam paham Ahlussunnah Waljamaah sangat terbatas pada
ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang maknanya mengandung perserupaan Tuhan dengan
makhluk) dan ayat-ayat tertentu lainnya, dengan pana’ wil yang terbatas pula
(tidak terlalu mendalam).
Dengan pola pikir yang
demikian, maka paham Ahlussunnah Waljamaah justru senantiasa represetatif dalam
setiap zaman, sejalan dengan representatif ajaran Islam itu sendiri sampai kapan
pun dan di manapun, bahkan dalam keadaan yang bagaimana pun. Akan senantiasa
aktual dan up to date.
E.
HAKIKAT ASWAJA
Setelah dipelajari mulai
dari batasan hingga pola pikir paham Ahlussunnah Waljamaah, akhirnya dapat
diketahui bagaimana hakikat atau dalam hal ini esensi: paham Ahlussunnah
Waljamaah. Ternyata Ia tak lain merupakan paham ahlulhaq pemberantas
ahlulnbid’ah dan merupakan pemurni ajaran Islam.
1.
Ahlulhaq
Jika dalam konteks historis,
para ulama memberikan istilah lain bagi Ahlussunnah Waljamaah sebagai Ahlulhaq
(Ahl al-haq), yang berarti sebagai golongan yang benar; maka sangatlah tepat.
Mengapa ? Karena Ia komitmen dalam mengikuti Sunnah Rasul dan
tariqah para sahabatnya dengan senantiasa berpegang teguh kepada petunjuk al-
Quran dan al-Sunnah.
Bukankah ajaran Islam
adalah ajaran yang hak. Dan bukankah sumber ajaran yang haq tu ialah al-Quran
dan al Sunnah yang juga dijunjung tinggi oleh Ahlussunnah Waljamaah.
Itulah letak ketepatan
istilah Ahlulhaq bagi paham Ahlussunnah Waljamaah. Lantaran pahamnya sejalan
dan membela serta memperjuangkan kebenaran ajaran islam yang Haq.
Tak dipungkiri memang
bahwa paham Ahlussunah Waljamaah juga menyepakati kebenaran “Ijma” Qiyas’ terutama
sebagai acuan hukum dalam lingkup kalam.
Sementara itu, kalaupun
dalam perkembangan historis, Ahlussunnah Waljamaah kemudian berpihak kepada
institus-institusi (mazhab-mazhab) yang muncul dalam lingkup akidah dan ibadah
atau berpihak kepada wacana al Ghazali dalam lingkup akhlak/tasawuf; Ia tetap
tidak bergeser sedikitpun dari komitmennya terhadap Sunnah Rasul dan jalan
hidup para sahabat sebagai acuan dalam mempedomani petunjuk Nas. Dan
keberpihakannya Itupun tetap tertuju kepada madzhab dan wacana yang tidak
menyimpang dari komitmen tersebut.
2.
Pemberantas Ahlulbid’ah
Istilah “bid’ah” dalam
keseharian, kadang-kadang menjurus pada artian sempit. Ia hanya digunakan dalam
konteks fiqhiyah, di mana amaliah ibadah yang tidak sama persis dengan amaliah
Rasul, kemudian dikatakannya sebagai amal “bid’ah’ Bahkan terlalu picik jika
sampai digunakan sebagai ungkapan teror semata untuk menghantam pihak lain yang
dianggapnya tidak sepaham.
Jika sampai terjadi
demikian, maka si penteror itu sendiri justru masuk dalam kategori ‘bid’ah
Karena Islam pastilah tidak mengajarkan yang demikian itu.
Kata “bid’ah” memang tidak
keliru jika diartikan dengan kata “baru”, karena itu amaliah yang tidak sama
persis dengan amalian Rasul pun tidak keliru dikatakan sebagai amal bid’ah.
Namun pengertian “sama persis” itu sendiri harus ditegaskan dalam konteks apa jika
pengertian “sama persis” itu yang dimaksud adalah konteks ajarannya yang ada
dalam al-Quran dan al-Sunnah, maka tepat sekali dikatakan sebagai bid’ah
terhadap segala sesuatu yang tidak sejalan atau bahkan menyimpang dan petunjuk
al Quran dan al-Sunnah.
Lingkup akidah, ibadah ataupun
akhlak yang menyimpang dari petunjuk al-Quran dan al-Sunnah, itulah kategori
bid’ah. Maka pengikut Syi’ah, Mu’tazilah, jabanyah, Wihdah al-Wujud, al-Hulul
(al-Hallaj) termasuk paham Manunggaling Kawula-Gusti (Syekh Siti Jenar di
Jawa), adalah contoh-contoh yang nyata Ahlul bid’ah (Ahl al-Bid’ah).
Maka paham Ahlus Waljamaah
tidak hanya menolak dan menentang paham Ahlulbid’ah tersebut, melainkan juga
berusaha menganulirnya dengan memberikan argumen-argumen logika (rasional) untuk
kembali kepada ajaran Islam yang haq.
3.
Pemurni Ajaran Islam
Paham’Ahlussunnah
Waljamaah sebagai paham/ penganut ajaran Islam murni, yakni yang ditunjukkan
oleh al-Quran dan al-Sunnah serta diteladankan oleh baginda Rasul SAW. beserta
para sahabat utamanya, dalam perkembangan historisnya senantiasa committed
dengan ajaran Islam yang murni itu dan menentang setiap upaya penyimpangan yang
dilakukan oleh pihak-pihak Ahlulbid’ah.
Baik dalam lingkup akidah,
ibadah, maupun lingkup tasawuf, paham Ahlussunnah Waljamaah sejak periode
awalnya selalu committed untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan ulah tercela
Ahlulbid’ah.
Karena itu, banyak kalangan
menilai paham Sunni (Ahlussunnah Waljamaah) ini sebagai purifikasi (pemurni)
ajaran Islam yang oleh para ahli di Barat disebut dengan lstilah Orthodox Sunni School .
Demikianlah jawaban
tentang apa dan bagaimana paham Ahlussunnah Waljamaah, yang diharapkan dapat
dipahami secara proporsional oleh semua kalangan Sunni sebagai langkah
aktualisasi awal paham yang disebut sebut paham pemurni ajaran Islam.
0 Response to "AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH"
Post a Comment